cerpen: JELITA
Jelita
Aku
tidak mengenal siapa-siapa karena dari kecil di sekolah kan di rumah atau “Home Schooling”. Lingkungan sekolah terasa
begitu asing bagiku. Aku ingat saat hari pertama ayah dan ibu memutuskan agar
aku masuk saja ke SMP. Namun, baru hari pertama penyakitku kambuh, ya penyakit
karena takut terhadap banyak orang. Aku tidak tahu kapan ini dimulai namun saat
orang-orang mulai memandangiku entah kenapa jantungku berpacu kencang dan yang
ku ingat selanjutnya aku sudah terbaring
di rumah sakit. Kata paman jantungku lemah, namun kata dokter ini adalah
akibat dari traumaku saat aku melihat kakakku sendiri meninggal di depan
mataku. Kakak yang sedang menyetir aku ganggu karena ingin perhatiannya yang
sudah sangat kurindukan sejak dia menjadi dokter yang membuatku sangat
merindukannya. Tragedi itu terjadi 6 tahun yang lalu saat kakak mengantarku
kesekolah. Untuk pertama dan terakhir kalinya. Sampai sekarang ibu dan ayah
juga masih sangat merindukan kakak. Kakak, jika waktu dapat di putar aku tidak
akan melakukan itu, jika waktu dapat di putar aku akan menjadi adik terbaik
yang pernah kakak miliki.
Sebenarnya
aku memiliki seorang sahabat sejak kecil bernama Zayn. Namun saat masuk SMP dia
hampir tidak pernah mengunjungiku lagi. Karena itulah saat kelas 8 aku memutuskan
untuk mengikuti terapi untuk menghilangkan rasa takutku. Waktu masuk SMA pun
tiba, tepat seperti apa yang aku prediksikan. Aku jatuh pingsan saat kami di
suruh berbaris di lapangan, saat sadar sudah ada dua anak PMR yang berdiri
disampingku dan menanyakan keadaanku. Risa dan rani namanya, aku mengetahui itu
dari papan nama yang terpajang di dada mereka. Tanpa sempat menjawab dengan
cepat ibu masuk ke UKS dengan paman Danang dan membopongku pulang kerumah.
Keesokan harinya aku mendapat perlakuan yang tidak biasa dari para guru yang
terlalu menghawatirkanku. Terlebih lagi ibu Andine, beliau terlihat sangat
gusar jika aku berdiri dibawah terik matahari dan cepat-cepat membawaku ke
tempat yang adem.
“
Jelita kesini cepat!.” Kata bu Andine.
“
tidak bu. Saya tidak apa-apa.” Jawab ku.
“
sudah hari ini tesnya belum di mulai, kamu pulang saja dulu nanti ibu telepon
pak Danang untuk menjemput kamu.”
“
tapi bu..”
“ayo
pulang saja nanti besok baru datang lagi”
Dalam
hitungan menit paman Danang yang sedari tadi menungguku di luar masuk kekantor
dan membawaku pulang.
Keesokan
harinya adalah hari tes masuk sekolah, ruangan tes ku ruang Melati. Aku
memberanikan diri untuk menyapanya karena sudah beberapa kali dia meminjam
penghapusku.
“
hay aku jelita.” Kataku dengan hati-hati.
“
wah kamu bisa ngomong juga yah? Haha. Namaku Fiona panggil saja Fio. Aku pikir
kamu memang sang putri.” Katanya dengan tertawa.
“putri?
Apa maksudmu?.”
“oh
kamu tidak tahu ya? Semua orang menjuluki kamu dengan sang putri. Kata mereka
kamu itu seperti putri tidur. Soalnya kamu itu sangat cantik, bening dan
rambutmu sangat hitam.”
“bukannya
rambut putri tidur berwarna pirang?.”
“iya
juga ya? Haha.”
“ada-ada
saja kamu.”
“jadi
kita temenan ya jelita?.”
“iya
kita temenan.”
Kami
tertawa bersama. Itu pertama kaliny aku tertawa dengan seorang teman seperti
Fiona selain Zayn. Zayn itu murid kelas 2 jadi di saat hari-hari petama seperti
ini anak kelas 2 tidak terlihat sedikit pun di sekolah selain kakak-kakak PMR
yang membantu mengawasi kami.
Aku
tidak ikut Mosba. Ayah datang kesekolah dan berbicara dengan bapak kepala
sekolah. Tentang ketidak hadiranku. Ibu sangat menghawatirkan aku, jadi aku
hanya tinggal di rumah dan belajar pelajaran-pelajaran SMA di bantu Tutorku.
Sangat menyebalkan memang namun apa yang bisa kulakukan?. Aku tidak ingin
membuat ibu dan ayah tambah khawatir. Akhirnya hari masuk sekolah pun tiba aku
sudah tidak sabar untuk bertemu denga Fiona lagi. Saat masuk gerbang sekolah
tak kusangka Zayn sudah menunggu ku untuk mengantarkan ke kelas. Aku sangat
bahagia karena kupikir Zayn tidak mau berteman dengan ku lagi. Saat berjalan
dengan Zayn menuju kelas entah kenapa banyak sekali yang melihat ke arah kami.
“kucing.
Kenapa mereka melihat ku seperti itu?.” Kucing adalah panggilanku untuk Zayn.
“jelly,
jelly. Kamu ngak tahu ya? Kalo kamu sekarang lagi jalan sama cowok terganteng
di sekolah?”. Jawabnya menggodaku.
“haha
memangnya sekeren apa sih kamu? Kucing, kucing.”
“haha.
Aku wakil ketua Osis. Jadi wajarkan mereka menatapku seperti itu. Wajahku juga
nggak jelek-jelek amat.”
“jadi
itu alasanmu tidak pernah bermain dengan ku lagi? Sibuk di sekolah? Uuuh
byebelin.”
“jangan
marah dong. Aku kan juga mau cari pengalaman buat cita-citaku nanti.”
Cita-citanya
menjadi politisi yang terkenal. Jadi sudah wajar jika dia ingin menjadi wakil
kemudian nanti saat pemilihan nanti dia ingin mencalonkan diri menjadi ketua
osis.
“iya
deh kucing. Tapi nanti sering-sering ya? Main dengan ku.”
Sebelum
zayn sempat membalas kalimatku terdengar suara yang keras dari dalam kelas.
“Jelitttaaaaaaaaaa..”
saat aku menoleh ternyata itu adalah fiona. Aku sangat bahagia melihatnya di
kelasku. Kelas 1-3. Namun dengan seketika Fio mematung saat melihat Zayn.
“
loh. Kak Zayn ngapain disini? Ngantarin sang putri ya? Tapi kok bisa?.” Tanya
Fio.
“eh.
Si Gledek. Kamu di sini juga? Jaga sahabat tersayangku ini yah. Udah mau bel,
aku masuk dulu. Dada Jelly.” Jawab Zayn denga cepat dan pergi.
“oke
sip kakakkk.” Fio setengah berteriak.
“kamu
kenal Zayn, Fio?.” Tanyaku penasaran.
“OMG
hello jelita. Dia itu cowok terkeren di sekolah kita tercinta ini. Well setelah
kak Jason tentunya hihihi.”
“
haha. Keren? Sebaiknya kamu periksakan matamu itu.” Jawabku meledek.
“udah
ah. Ayo kita masuk tuan putri. Aku mau ngenalin kamu keseluruh kelas” Kata Fio
sambil menarikku.
Saat
masuk ke kelas banyak sekali yang melihat ke arah ku. Jantungku berdebar dengan
sangat cepat. Ya Allah kuatkan jelita. Jelita nggak mau menyusahkan orang lain
Ya Allah!. Kalimat itu berulang ku ucapkan di dalam hati. Keringat bercucuran
dari dahiku. Dunia terasa berputar. Aku sudah tak sanggup. Dan saat tersadar
aku sudah berada di UKS lagi. Di sampingku ada Fio dan seorang lelaki yang
tidak kukenal.
“sukur
deh loe udah sadar. Parah loe pingsan dari jam 8 sampe jam 11. Gila lama
banget. Untung ini baru minggu awal sekolah jadi guru-gurunya belom masuk.”
Kata cowok yang tidak ku kenal itu.
“eh
minggir kamu. Orang baru sadar udah kamu ceramahin.” Jawab Fio mengomeli cowok
itu.
“ya
ampun geledek. Gua baru ngomong 4 kalimat. Itu bukan ce-ra-mah.”
“udah
deh. Jelita ini Bagas ketua kelas kita. Maaf ya tadi aku langsung narik kamu
gitu. Maaf.”
“iya
nggak apa-apa kok Fio. Aku juga minta maaf Bagas udah nyusahin kamu.”
“iya.
Tadi gua juga Cuma becanda kok Ta .” Jawab Bagas sambil tersenyum padaku.”
Setelah
kejadian itu fiona, Bagas, dan semua teman-teman di kelasku tahu akan
penyakitku. Dan kami semua menjadi akrab. Karena saat aku sedang pingsan
ternyata mereka semua menghawatirkanku. Andai kakak ada di sini aku akan
menceritakan semua yang terjadi di kelas tadi pada kakak. Aku harap kakak dapat
selalu melihatku dari sana. Dan aku harap ayah dan ibu tidak terlalu
menghawatirkan aku lagi.
hingga
pada suatu hari yang tenang. Saat aku sedang duduk di beranda rumah jantungku
terasa sangat sakit. Batuk ku penuh dengan darah. Tapi aku tidak ingin ibu dan
ayah mengetahuinya jadi aku sembunyikan agar hanya aku dan tuhan yang tahu.
Kejadian yang sama terjadi keesokan harinya di sekolah saat pelajaran olah
raga, batukku penuh dengan darah. Fio sampai panik melihatku merintih kesakitan
di kelas. Aku tidak ikut jam olah raga karena merasa kurang sehat sejak kemarin
dan ibu juga telah memberi surat kepada guru olah raga. Fio melaporkan
keadaanku pada ibu Andine dan dengan cepat ibu datang dan membawaku ke rumah
sakit. Sekarang aku di opname selama 5 hari. Ibu tidak memberitahukan kenapa
aku disini sangat lama. Semua orang yang datang menjengukku terlihat bahagia,
namun sesekali aku menangkap ekspresi sedih keluar dari raut wajah mereka. Ada
apa ini?. Setiap malam aku selalu bertanya-tanya pada diriku
sendiri. Kenapa dengan mereka. Kesedihan yang mendalam sama sekali tidak dapat
di sembunyikan oleh Zayn saat ia datang menjengukku.
“kucing.
Kamu kenapa sih? Semua orang kenapa sih? Aku jelek ya? Sampai yang datang
melihatku tidak mau menatapku? Fio, Bagas juga niih nggak pernah datang. Nanti
nggak akan aku traktir es krim lagi Aku..”.
Aku
kaget karena belum smpat menyelesaikan kalimat air mata sudah menetes di pipi
Zayn. Yang selama ini tak pernah sedetikpun aku melihatnya
menangis, kecuali saat meninnggalnya Eyang kakung.
“kucing.
Kamu kenapa sih?”. Dengan cepat Zayn berlari meninggalkan ruanganku. Ibu masuk
dan tak mampu berucap. Air matanya berlinang membuatku merasa menjadi anak yang
paling durhaka di dunia ini. Hinggga ayah membuka mulutnya dan berkata.
“sayang,
Anakku sayang kamu LEUKIMIA STADIUM AKHIR
sayang.”. kata-kata ayah itu mengguncangku hingga tak mampu bernapas. Itu lah
kenapa ibu sangat menghawatirkanku dari kecil, itulah kenapa terapi ku berbeda
dengan anak-anak lain. Itu juga adalah alasan bu Andine sangat sayang
padaku. Aku takut, aku sedih, aku tak ingin meninggalkan ibu. Aku telah membuat
kakak pergi dan sekarang aku harus pergi dari ibu, tapi aku tak ingin
meninggalkan ayah dan ibu. Aku akan mencoba merelakan semua yang terjadi.
..................................................................................................................................................................
Sejak
fonis itu diberikan oleh dokter dan setelah ayah Jelita memberi tahu jelita
tentang penyakitnya setiap hari aku selalu datang menjenguk Jelita. Hari demi
hari dia terlihat semakin tak bertenaga hingga banyak alat medis yang di
pasangkan pada tubuhnya. Aku juga selalu ada saat satu demi satu alat-alat itu
di lepaskan darinya dan sampai Jelita pergi meninggalkan kami semua. Aku
berusaha untuk tidak menangis namun, butiran-butiran bening itu jatuh sendiri
tanpa aku sadari. Aku telah kehilangan sahabat dan orang yang paling aku
sayangi di dunia ini.
Selamat
jalan Jelita cinta kami selalu untuk mu.
zayn
Komentar
Posting Komentar